a. Unsur Intrinsik
v Tema
Perbedaan pendapat dalam keluarga
v Tokoh dan penokohan
Suami :
Keras kepala, pelupa, jujur, baik hati, tidak mau kompromi
Istri :
Sabar, baik hati, tidak mau kompromi, jujur
Tamu 1 :
Baik hati
Tamu 2 :
Baik hati
Ibrahim :
Sabar, pandai
Cokro :
Tidak sabaran, pemarah
Tobing :
kurang tegas
Istri Cokro :
Pemarah
v Alur:
Sifat alur dalam
naskah Dag-Dig-Dug adalah linear plot. dimana suatu kejadian dan konflik
tersusun secara berurutan seperti bentangan garis dari A sampai Z. Dimana
penonton hanya mendapat pikiran-pikiran berdasarkan percakapan tokoh-tokohnya
dari awal sampai akhir.
Jika melihat dari alur ceritanya, jenis plot dalam naskah Dag-Dig-Dug termasuk kedalam plot longgar. Karena dari beberapa peristiwa, terdapat peristiwa yang tidak penting dan tidak mempengaruhi peristiwa lainnya. Sehingga apabila dihilangkan tidak mempengaruhi makna ceritanya.
Plot longgar ialah plot yang yang terbentuk karena adanya sejumlah peristiwa, baik yang penting kedudukannya maupun yang kurang penting. Umpanya sebuah peristiwa yang dianggap kurang penting dalam lakon itu dilepaskan, maka makna dari lakon itu kemungkinan besar tidak akan berkurang.
Jika melihat dari alur ceritanya, jenis plot dalam naskah Dag-Dig-Dug termasuk kedalam plot longgar. Karena dari beberapa peristiwa, terdapat peristiwa yang tidak penting dan tidak mempengaruhi peristiwa lainnya. Sehingga apabila dihilangkan tidak mempengaruhi makna ceritanya.
Plot longgar ialah plot yang yang terbentuk karena adanya sejumlah peristiwa, baik yang penting kedudukannya maupun yang kurang penting. Umpanya sebuah peristiwa yang dianggap kurang penting dalam lakon itu dilepaskan, maka makna dari lakon itu kemungkinan besar tidak akan berkurang.
v Sinopsis
Semua berawal dari
kematian Chairul Umam dalam sebuah kecelakaan, Sebuah surat untuk suami-istri
pemilik rumah indekosan mengabarkan bahwa akan datang utusan yang akan
menjelaskan kabar kematian tersebut lebih lanjut. Kemudian datanglah dua tamu
laki-laki teman Chairul Umam yang bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Mereka
bercerita tentang almarhum, dan pulang setelah meninggalkan sebuah amplop
berisi uang kepada tuan rumah, karena mereka tidak bisa menemukan satupun
keluarga almarhum, kecuali suami-istri tua pemilik rumah indekosan tersebut
yang mereka tahu dari surat-surat almarhum. Uang itulah awal mulanya konflik. Mereka merasa
bersalah menerimanya karena merasa bukan hak mereka. Dan mereka baru ingat
bahwa ternyata Chairul Umam tidak pernah mondok di rumah mereka, hanya sering
datang ke rumah. Tapi itupun bukan, mereka tidak ingat lagi siapa Chairul Umam
Sebenarnya. Mereka berniat mengembalikan uang tersebut namun setelah dihitung
ternyata uang itu kurang. Tidak sama dengan jumlah yang tertulis dalam surat.
Akhirnya uang itu dikembalikan. Dari peristiwa tersebut, suami-istri tua
menyadari bahwa mereka sebagai orang tua sebentar lagi akan mati sedang mereka
adalah pasangan yang tidak memiliki anak. keduanya menjadi sadar bahwa kematian
selalu mengintip mereka. Itu membutuhkan sebuah kesiapan. Maka dimulailah
mempersiapkan kematian. Semua tabungan akan dihabiskan untuk membeli
bahan-bahan penguburan. Mereka memesan Ibrahim untuk merancang desain kuburan
mereka. Dan akhirnya kuburan sudah dirancang, batu marmar sudah dibeli, kain
kafan, peti mati juga sudah, dan semuanya disimpan di rumah. Bahkan rumah sudah
dijual ke Tobing. Mereka tidak punya sesuatu yang berharga lagi selain
barang-barang untuk persiapan kematian. Mereka sudah siap mati. Hari ke hari
mereka semakin tua dan sakit-sakitan. Ada Cokro, adik kandung istri tua yang
merasa mendapat ketidakadilan, karena tidak kebagian apa-apa padahal ia telah
hidup bersama dan melayani mereka. Konflik demi konflikpun terjadi dalam
penantian mereka: kucing mati dalam peti, mimpi bertemu Chairul Umam, curiga
kepada Ibrahim, curiga kepada Tobing, nenek kesemutan ketika naik diatas
mamar berniat menghitungnya, sementara encok suami tiba-tiba kumat dan tak bisa
memberikan pertolongan, marmar jatuh, suatu ketika suami merasa sekarat dan
sudah siap masuk kedalam peti mati, tetapi tak jadi mati, wasiat suami di bawah
bantal diam-diam dibaca oleh Cokro, istri yang cemburu melempar cangkir, Cokro
sudah mulai berani melawan amarah Istri. Suami curiga bahwa Cokrolah pencuri
uang Chairul Uman, Suami marah-marah, ada suara radio yang berbunyi jika disebut-sebut.
Semakin tegang pada saat-saat menunggu kematian, mereka yang semakin tua, lemah
dan sakit-sakitan menunggu kematian di dalam peti mati.
v Latar
Dalam ruangan yang besar dan kosog dalam rumah
suami istri tua
2. Pendekatan Deduktif
Pandangan-pandangan yang digunakan pengarang dalam
menulis naskah drama Dag Dig Dug adalah pandangan etis dan pandangan filosofis.
Pandangan etis terlihat dalam seluruh naskah drama, yakni
perbedaan pendapat antara suami dan istri mengenai peralatan penguburan mereka.
Hal ini pasti benar-benar terjadi dalam kehidupan sehari-hari, walaupun dalam
kehidupan sehari-hari hal ini lebih cenderung hanya ada dalam pergolakan batin
Tidak sampai diucapkan.
Pandangan filosofis dalam drama ini adalah bahwa manusia
hidup pasti akan memikirkan bagaimana kalau mati kelak. Selain itu filosofi
bahwa orang baik akan dikenang walaupun telah mati juga terlihat saat teman
Chairul Umam dating untuk mnyampaikan uang bela sungkawa.
3. Pendekatan Sosiopsikologis
Naskah Dag-Dig-Dug dibuat pada tahun
1973, tepatnya tanggal 27 Oktober. Naskah ini ditulis ketika Putu tinggal dalam
masyarakat komunal Ittoen, Yamashina, Kyoto Jepang. Apa yang dituliskan Putu
dalam naskah tersebut, terinspirasi dari pengalaman- pengalaman yang ia alami
selama 7 bulan menghadapi kehidupan di Ittoen.
Ittoen merupakan sebuah tempat di lereng bukit. Waktu itu hanya beranggotakan 400 orang dan mereka berpakaian hitam-hitam. Ketika Putu datang, masyarakat tersebut sudah merupakan masyarakat generasi kedua atau ketiga. Bagi masyarakat Ittoen, hidup adalah bekerja. Bekerja sama dengan beribadah. Mereka mengatakan diri mereka Budha. Tetapi mereka juga terpengaruh ajaran Gandhi. Mereka, bagi Putu tidak jauh berbeda dengan masyarakat Soeboed, masyarakat kebatinan.
Sebenarnya yang praktis tinggal disana orang tua saja, karena orang muda tidak suka dan tidak betah karena harus bekerja terus dan ritual mereka adalah bekerja. Mereka punya rombongan drama bernama Swaraj yang berkeliling menghibur orang tua dan anak-anak. Setiap pemainnya selalu punya kantong yang berisi palu dan peralatan lainnya. Setelah main, mereka ke belakang untuk menata panggung, bekerja lagi, main lagi.
Di Ittoen segalanya diurus oleh komune. Setiap hari Putu bangun pagi, bekerja, ibadah, makan bersama dan tidur teratur. Sewaktu-waktu Putu dan rombongan masyarakat turun ke dusun Yamashina untuk sukarela membersihkan WC orang. Disana tidak diperbolehkan merokok, hidup harus sederhana, emosi dikekang, orang harus taat, tidak boleh bertanya, perintah harus dijalankan. Bagi mereka semua, pertanyaan sudah dijawab oleh almarhum pemimpin mereka, kini tinggal menjalankan saja.
Sebenarnya Putu ke Jepang untuk mempelajari Kabuki. Salah satu kesenian tradisional khas Jepang. Tetapi ternyata ia diberikan mandat untuk tinggal di Ittoen. Sebulan Putu bekerja di ladang. Kemudian empat bulan dia mengikuti rombongan sandiwara Swaraj pentas berkeliling Jepang. Rutinitasnya adalah naik truk, setiap malam memasang dekor dan melakukan kegiatan teater yang sifatnya fisikal. Putu dilatih secara fisik dan ia merasa tidak mendapat apa-apa dari latihan itu.
Mereka sendiri sebenarnya tidak kuat menjauhi hawa nafsu dan mematikan emosi. Semuanya hanya ada dalam dunia idea. Dari sana Putu kemudian menulis naskah drama Anu dan Dag-Dig-Dug serta sebuah novel yang kemudian ia beri judul “Lho”. Sekembalinya ke tanah air, naskah-naskah itu dirampungkannya
Masyarakat Ittoen adalah penganut sistem kepercayaan yang ada. Ia sedikit menyindir fanatisme masyarakat Ittoen dalam naskahnya. Mereka melepaskan hal-hal yang bersifat keduniawian dan merasa sangat yakin akan kepastian akhirat. Sementara mereka sendiri secara batin tidak menerima dan merasa tersiksa dengan sikap mereka yang dibebani berbagai aturan-aturan kepercayaan yang mereka anut.
Dalam naskah Dag-Dig-Dug, melalui tokoh Suami dan Istri, Putu hendak mengungkapkan fenomena yang terjadi. Tokoh Suami dan Istri bersusah payah mengumpulkan uang hanya untuk membuat prasasti kematian mereka melalui sebuah nisan yang terbuat dari marmer, menginginkan kemewahan dalam tidur panjangnya, sementara mereka tidak pernah tahu kapan kematian akan datang.
Gagasan zaman yang terkandung dalam naskah Dag-Dig-Dug mendapat pengaruh eksistensialisme. Kehidupan masyarakat Ittoen yang menunjukkan eksistensi mereka dalam bentuk kehidupan spiritual menjadi inspirasi Putu. Bahan-bahan penguburan yang dihadirkan, keinginan untuk mati tokoh utamnya, adalah sebuah simbol bahwa kehidupan yang tokoh utamanya jalani akan kembali pada sebuah titik, yaitu kematian.
Ittoen merupakan sebuah tempat di lereng bukit. Waktu itu hanya beranggotakan 400 orang dan mereka berpakaian hitam-hitam. Ketika Putu datang, masyarakat tersebut sudah merupakan masyarakat generasi kedua atau ketiga. Bagi masyarakat Ittoen, hidup adalah bekerja. Bekerja sama dengan beribadah. Mereka mengatakan diri mereka Budha. Tetapi mereka juga terpengaruh ajaran Gandhi. Mereka, bagi Putu tidak jauh berbeda dengan masyarakat Soeboed, masyarakat kebatinan.
Sebenarnya yang praktis tinggal disana orang tua saja, karena orang muda tidak suka dan tidak betah karena harus bekerja terus dan ritual mereka adalah bekerja. Mereka punya rombongan drama bernama Swaraj yang berkeliling menghibur orang tua dan anak-anak. Setiap pemainnya selalu punya kantong yang berisi palu dan peralatan lainnya. Setelah main, mereka ke belakang untuk menata panggung, bekerja lagi, main lagi.
Di Ittoen segalanya diurus oleh komune. Setiap hari Putu bangun pagi, bekerja, ibadah, makan bersama dan tidur teratur. Sewaktu-waktu Putu dan rombongan masyarakat turun ke dusun Yamashina untuk sukarela membersihkan WC orang. Disana tidak diperbolehkan merokok, hidup harus sederhana, emosi dikekang, orang harus taat, tidak boleh bertanya, perintah harus dijalankan. Bagi mereka semua, pertanyaan sudah dijawab oleh almarhum pemimpin mereka, kini tinggal menjalankan saja.
Sebenarnya Putu ke Jepang untuk mempelajari Kabuki. Salah satu kesenian tradisional khas Jepang. Tetapi ternyata ia diberikan mandat untuk tinggal di Ittoen. Sebulan Putu bekerja di ladang. Kemudian empat bulan dia mengikuti rombongan sandiwara Swaraj pentas berkeliling Jepang. Rutinitasnya adalah naik truk, setiap malam memasang dekor dan melakukan kegiatan teater yang sifatnya fisikal. Putu dilatih secara fisik dan ia merasa tidak mendapat apa-apa dari latihan itu.
Mereka sendiri sebenarnya tidak kuat menjauhi hawa nafsu dan mematikan emosi. Semuanya hanya ada dalam dunia idea. Dari sana Putu kemudian menulis naskah drama Anu dan Dag-Dig-Dug serta sebuah novel yang kemudian ia beri judul “Lho”. Sekembalinya ke tanah air, naskah-naskah itu dirampungkannya
Masyarakat Ittoen adalah penganut sistem kepercayaan yang ada. Ia sedikit menyindir fanatisme masyarakat Ittoen dalam naskahnya. Mereka melepaskan hal-hal yang bersifat keduniawian dan merasa sangat yakin akan kepastian akhirat. Sementara mereka sendiri secara batin tidak menerima dan merasa tersiksa dengan sikap mereka yang dibebani berbagai aturan-aturan kepercayaan yang mereka anut.
Dalam naskah Dag-Dig-Dug, melalui tokoh Suami dan Istri, Putu hendak mengungkapkan fenomena yang terjadi. Tokoh Suami dan Istri bersusah payah mengumpulkan uang hanya untuk membuat prasasti kematian mereka melalui sebuah nisan yang terbuat dari marmer, menginginkan kemewahan dalam tidur panjangnya, sementara mereka tidak pernah tahu kapan kematian akan datang.
Gagasan zaman yang terkandung dalam naskah Dag-Dig-Dug mendapat pengaruh eksistensialisme. Kehidupan masyarakat Ittoen yang menunjukkan eksistensi mereka dalam bentuk kehidupan spiritual menjadi inspirasi Putu. Bahan-bahan penguburan yang dihadirkan, keinginan untuk mati tokoh utamnya, adalah sebuah simbol bahwa kehidupan yang tokoh utamanya jalani akan kembali pada sebuah titik, yaitu kematian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar